Jumat, 03 Mei 2013

MEDAN MAKNA DAN KOMPONEN MAKNA

BAB I PENDAHULUAN
1.1          Latar Belakang dan Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah sebuah sistem yang memadukan dunia makna dan dunia bunyi. Dunia bunyi merupakan kajian dalam bidang fonologi sedangkan dunia makna merupakan kajian dalam bidang semantik. Semantik merupakan bidang linguistik yang mempelajari makna tanda bahasa. Menurut Ogden dan Richards (1923) dalam karya klasik tentang “teori semantik segi tiga” yang sampai saat ini masih beerpengaruh dalam teori semantik, kaitan antara lambang, citra mental atau konsep, dan referen atau objek.
Mempelajari makna pada hakikatnya berarti mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat bahasa saling mengerti. Untuk menyusun kalimat yang dapat dimengerti pemakai bahasa dituntut untuk menaati kaidah gramatika, atau tunduk kepadaa kaidah pilihan kata menurut sistem leksikal yang berlaku didalam suatu bahasa. Makna sebuaah kalimat sering tidak bergantung pada sistem gramatikal dan leksikal saja, tetapi juga bergantung kepada kaidah wacana.
Kempson dalam Djajasudarma (2009:9) menyatakan bahwa untuk menjelaskan makna dapat dilihat dari segi: kata, kalimat, dan apa yang diperlukan penyapa untuk berkomunikasi. Orang awan melihat makna kata tentunya dari kamus, yang sebenarnya adalah makna leksikal atau keterangann dari leksem itu sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari makna suatu kata tidak hanya makna leksikal yang dimilikinya, tetapi menjangkauu yang lebih luas. Kata-kata atau leksem dari setiap bahasa dapat dikelompokkan dalam kelompok-kelompok tertentu yang maknaya saling berkaitan atau berdekatan karena sama-sama berada dalam satu bidang kegiatan atau keilmuan. Tetapi disamping itu setiap kata atau leksem dapat juga dianalisis maknanya atas komponen-komponen makna tertentu sehingga akan tampak perbedaan dann persamaan makna antara kata yang satu dengan kata yang lain.
Berdasarkan penjelasan di atas penulis akan membahas tentang Medan Makna dan Komponen Makna dengan alasan agar dapat membedakan antara medan makna dan komponen makna. Sekaligus memberikan manfaat sebagai sumber belajar dan bahan bacaan serta menambah wawasan untuk penulis maupun pembaca.
1.1.2 Masalah
          Berdasarkan penjelasan di atas, penulis akan mengemukakan beberapa masalah diantaranya:
1.    Apa yang dimaksud medan makna?
2.    Apa saja komponen makna?

1.2           Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.    Untuk mengetahui pengertian dan contoh medan makna.
2.    Untuk mengetahui komponen-komponen makna.


 
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Medan Makna
Harimurti dalam Chaer (2002:110) menyatakan bahwa medan makna ( semantic field, semaantic domain) adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Kata atau unsur leksikal yang maknanya berhubungan dalam satu bidang tertentu jumlahnya tidak sama dari satu bahasa dengan bahasa lain, sebab berkaitan erat dengan kemajuan atau situasi budaya masyarakat bahasa yang bersangkutan. Misalnya pada silsilah kekerabatan dalam bahasa Indonesia massih belum lengkap. Kita belum berhubungan antara ego, misalnya (1) anak dari kemenakan, (2) anak dari sepupu, (3) anak dari besan yang bukan menantu, (4) anak dari moyang, (5) anak dari piut dan sebagainya.
Pemaparan lain tentang medan makna juga dijelaskan oleh Parera yang dikemukakan dalam teori medan makna dari J. Trier. Dalam bukunya tentang istilah-istilah ilmiah Jerman, J. Trier melukiskan vokabulari sebuah bahasa tersusun rapi dalam medan-medan dan dalam medan itu setiap unsur yang berbeda diidefinisikan dan diberi batas yang jelas sehingga tidak ada tumpang tindih antarsesama makna. Ia mengatakan bahwa medan makna itu tersusun sebagai saatu mosaik. Setiap medann makna itu akan selalu tercocokkan antarsesama medan sehingga membentuk satu keutuhan bahasa yang tidak mengenal tumpang tindih. Setiap kata dapat dikelompokkan sesuai dengan medan maknanya. Akan tetapi, perlu diketahui pula bahwa pembedaan medan makna tidak sama untuk setiap bahasa. misalnya, bahasa Indonesia membedakan medan makna melihat atas: melirik, mengintip, memandang, meninjau, menaatap, melotot dan sebagainya.                                    
Chaer (2002:112) “Kata-kata yang berada dalam satu medan makna dapat digolongkan menjadi dua, yaitu yang termasuk golongan kolokasi dan goolongan set”. Menurutnya kolokasi (berasal dari bahasa latin colloco yang berarti ada di tempat yang sama dengan) menunjuk kepada hubungan sintagmatik yang terjadi antara kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Kata-kata yang berkolokasi ditemukan bersama atau berada dalam satu tempat atau satu lingkungan. Misalnya :  pada kalimat penyerang tengah bernomor punggung tujuh itu memasukkan bola ke gawang dengan melewati pemain belakang dari pihak lawan yang ramai, kiper dari pihak lawan kewalahan menangkap bola tersebut sehingga wasit menyatakan gol. Kita dapat melihat kata-kata penyerang tengah, penyerang belakang, gol, bola, wasit, gawang, dan kiper berkolokasi dalam pembicaraan tentang olah raga sepakbola.
Contoh lain mengenai kolokasi:
1)   Udara Ranu Kumbolo tiba-tiba berubah dingin, menemani mereka makan siang di sekeliling danau dengan beberapa pohon terjulur di atas permukaan danau. Beberapa pendaki tampak bercengkerama di atas batang pohon itu dengan kaki terjuntai menyentuh-nyentuh permukaan air.
(Sumber: Novel 5 cm, halaman: 255)
Berdasarkan contoh di atas, terdapat kata-kata dingin, danau, pohon, pendaki, permukaan air yang berkolokasi dalam pembicaraan tentang Ranu Kumbolo yang di utarakan secara sejajar atau sintagmatik.
2)   Perhatikanlah perkakas pertanian orang Melayu di Riau seperti beliung (untuk menembak), kampak (untuk membelah), lading atau parang (untuk menebas), tajak (untuk bersiang), cabak (untuk membalikkan lempeng tanah), sabit (untuk memotong rumput), tembilang (untuk menggali) dan beberapa lainnya lagi.
(Sumber: Jagad Melayu dalam Lintas Budaya di Riau, halaman: 105)
          Berdasarkan contoh di atas terdapat kata, beliung, kampak, lading atau parang, tajak, cabak, sabit, tembilang yang berkolokasi dalam pembicaraan tentang perkakas pertanian orang melayu.
3)   Problema yang ditimbulkan oleh kejahatan transnasional telah tampak dengan adanya kaitan erat antara kejahatan terorisme dengan kejahatan terorganisasi yang sifat-sifatnya transnasional dan di luar hukum penggunaan kekerasan fisik, perdagangan senjata dan obat bius, money laundering, transaksi gelap, penculikan, penggelapan, pemalsuan, perampasan, dan pemerasan.
(Sumber: Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, halaman;3)

Berdasarkan contoh di atas, terdapat kata-kata kekerasan fisik, perdagangan senjata dan obat bius, money laundering, transaksi gelap, penculikan, penggelapan, pemalsuan, perampasan, dan pemerasan. Kata-kata tersebut berkolokasi dengan kejahatan hukum.
Dalam pembicaraan tentang jenis makna ada istilah kolokasi, yaitu jenis makna kolokasi yaitu makna kata yang tertentu berkenaan dengan keterikatan kata tersebut dengan kata lain yang merupakan kolokasi. Misalnya kata tampan, cantik, dan indah sama-sama bermakna denotatif ‘bagus’. Tetapi kata tampan memiliki komponen atau ciri makna (+laki-laki) sedangkan kataa cantik memiliki komponen atau ciri makna (-laki-laki) dan kata indah memiliki komponen atau ciri makna (-manusia).
Set menjuk pada hubungan paradigmatik karena kata-kata atau unsur-unsur yang berada dalaam suatu set dapat saling menggantikan. Suatu set biasanya berupa sekelompok unsur leksikal dari kelas yang sama yang tampaknya merupakan satu kesatuan. Setiap unsur leksika dalam suatu set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota dalam set tersebut.
SET             bayi              dingin
(Paradigmatik) kanak-kanak         sejuk
                          remaja                   hangat
                          dewasa                   panas
                          manula                   terik
kata remaja merupakan tahap pertumbuhan antara kanak-kanak dengan dewasa; sejuk adalah suhu di antara dingin  dengan hangat.
Contoh lain tentang SET :
·       Hubungan manusia dengan Allah, menurut ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prima causa (sebab utama) hubungan-hubungan yang lain.
( Sumber: Hukum Islam, halaman: 26)
      Berdasarkan contoh di atas, jelas sekali merupakan contoh SET karena adanya hubungan yang paradigmatik. Allah sebagai tempat yang paling tinggi sedangkan manusia berada dibawah Allah karena manusia merupakan makhluk ciptaan Allah.

·       Rektor pernah keluarkan edaran tentang larang merokok di kawasan kampus, tampaknya ini salah satu strategi itu. Karyawan dan dosenpun diharuskan memakai Id Card.
( Sumber: Majalah aklamasi, halaman: 3)
      Berdasarkan contoh di atas, terdapat kata Rektor, Karyawan, Dosen. Berdasarkan kata-kata tersebut dapat digolongkan menjadi golongan SET. Urutan golongan SET yang berfokus pada hubungan yang tegak lurus (Paradigmatik) yaitu:
Rektor -->”rektor adalah kepala perguruan tinggi” (Depdiknas, 2008: 1158).
Dosen  -->” tenaga pengajar pada perguruan tinggi” (Depdiknas, 2008: 342).
Karyawan -->“orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dan sebagainya) dengan mendapat gaji (upah); pegawai; pekerja” (Depdiknas, 2008:629).

a.       Komponen Makna
      Chaer (2002:114) menyatakan bahwa komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic property, atau semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Kridalaksana (2009:129) yang menyatakan bahwa komponen makna merupakan satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna atau ujaran. Misalnya, kata ayah mengandung komponen makna atau unsur makna: +insan, +dewasa, +jantan dan +kawin dan ibu mengandung komponen makna; +insan,+dewasa,-jantan dan +kawin.

      Konsep analisis ini (lazim disebut analisis biner) oleh para ahli kemudian diterapkan juga untuk membedakan makna suatu kata dengan kata lain. Analisis biner ini dapat pula digunakan untuk mencari perbedaan semantik kata-kata yang bersinonim.
      Dari pengamatan terhadap data/unsur-unsur leksikal, ada tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan analisis biner tersebut, yaitu:
      Pertama, ada pasangan kata yang salah satu daripadanya lebih bersifat netral atau umum sedaangkan yang lain bersifat khusus. Misalnya, pasangan kata mahasiswa dan mahasiswi. Kata mahasiswa lebih bersifat umum dan netral karena dapat termasuk “pria” dan “wanita”. Sebaliknya kata mahasiswi lebih bersifat khusus karena hanya mengenai “wanita”.
      Kedua, ada kata atau unsur leksikal yang sukar dicari pasangannya karena memang mungkin tidak ada; tetapi ada juga yang mempunyai pasangan lebih dari satu. Contoh kata atau unsur leksikal yang pasangannya lebih dari satu adalah kata berdiri. Kata berdiri bukan hanya bisa dipertentangkan dengan kata duduk, tetapi dapat juga dengan kata tiarap, rebah, tidur, jongkok, dan berbaring.
      Ketiga, sukar mengatur ciri-ciri semantik itu secara bertingkat, mana yang lebih bersifat umum dan mana yang lebih bersifat khusus. Umpamanya ciri (jantan) dan (dewasa), bisa bersifat umum (jantan) dan bisa juga bersifat umum (dewasa).
      Walaupun analisis komponen makna ini dengan pembagian biner banyak kelemahan, tetapi cara ini banyak memberi manfaat untuk memahami makna kalimat.

b.      Kesesuaian Semantik dan Gramatis
      Seorang bangsawan atau penutur suatu bahasa dapat memahami dan menggunakan bahasanya bukanlah karena dia menguasai semua kalimat yang ada di dalam bahasanya itu, melainkan karena adanya unsur kesesuaian atau kecocokan ciri-ciri semantik antara unsur leksikal yang satu dengan unsur yang lain. Umpamanya, antara kata wanita dan mengandung ada  kesesuaian ciri semantik.
      Kesesuaian ciri ini berlaku bukan hanya pada unsur-unsur leksikal saja tetapi juga berlaku antara unsur leksikal dan unsur gramantikal.Umpamanya, kata seekor hanya sesuai dengan kata ayam tetapi tidak sesuai dengan kata ayam-ayam, yaitu bentuk reduplikasi dari kata ayam. Kata seekor sesuai dengan kata ayam karena keduanya mengandung ciri (+tunggal); sebaliknya kata seekor tidak sesuai dengan kata ayam- ayam karena kata seekor berciri makna (+tunggal) sedangkan ayam-ayam berciri makna(-tunggal).
      Para ahli tata bahasa generatif semantik seperti Chafe (1970)dan fillmore (1971), malah berpendapat setiap unsur leksikal mengandung ketentuan-ketentuan penggunanaannya yang sudah terpateri yang bersifat gramatikal dan bersifat semantis. Ketentuan-ketentuan gramatikal memberikan kondisi-kondisi gramatikal yang berlaku jika suatu unsur gramatikal yang berlaku jika suatu unsur gramatikal hendak digunakan. Umpamanya kata kerja makan dalam penggunaannya memerlukan adanya sebuah subyek dan sebuah obyek (walaupun disini objek ini bisa dihilangkan).
          Oleh karena itulah kalimat Adik makan dendeng atau kucing makan dendeng dapat diterima, sebab adik  maupun kucing mengandung ciri makna (+bernyawa) dan dendeng mengandung ciri makna (+makanan). Tetapi kalimat *Pensil makan dendeng dan kalimat Adik makan lemari tidak dapat diterima karena kata pensil pada kalimat pertama mengandung ciri makna (-bernyawa) dan kata lemari pada kalimat kedua mengandung ciri makna (-makanan). Jadi tidak dapat diterimanya kedua kalimat itu bukanlah karena masalah gramatikal, melainkan karena masalah semantik.


BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
      Harimurti (1982) menyatakan bahwa medan makna ( semantic field, semaantic domain) adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan.
      Kata-kata yang berada dalam satu medan makna dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1.    Golongan kolokasi. Kolokasi (berasal dari bahasa latin colloco yang berarti ada di tempat yang sama dengan) menunjuk kepada hubungan sintagmatik yang terjadi aantara kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu.
2.    Golongan SET. Set menjuk pada hubungan paradigmatik karena kata-kata atau unsur-unsur yang berada dalaam suatu set dapat saling menggantikan.
      Tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan analisis biner tersebut, yaitu:
      Pertama, ada pasangan kata yang salah satu daripadanya lebih bersifat netral atau umum sedaangkan yang lain bersifat khusus. Misalnya, pasangan kata mahasiswa dan mahasiswi. Kata mahasiswa lebih bersifat umum dan netral karena dapat termasuk “pria” dan “wanita”. Sebaliknya kata mahasiswi lebih bersifat khusus karena hanya mengenai “wanita”.
      Kedua, ada kata atau unsur leksikal yang sukar dicari pasangannya karena memang mungkin tidak ada; tetapi ada juga yang mempunyai pasangan lebih dari satu. Contoh kata atau unsur leksikal yang pasangannya lebih dari satu adalah kata berdiri. Kata berdiri bukan hanya bisa dipertentangkan dengan kata duduk, tetapi dapat juga dengan kata tiarap, rebah, tidur, jongkok, dan berbaring.
      Ketiga, sukar mengatur ciri-ciri semantik itu secara bertingkat, mana yang lebih bersifat umum dan mana yang lebih bersifat khusus. Umpamanya ciri (jantan) dan (dewasa), bisa bersifat umum (jantan) dan bisa juga bersifat umum (dewasa).


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud. 2011. Hukum Islam: Pengantar Hukum Islam dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Chaer, Abdul. 1989. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dhirgantoro, Donny. 2005. 5 cm. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Djajasudarma, Fatimah. 2009. Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal. Bandung: Refika Aditama.
Hamidy, UU. 2012. Jagad Melayu dalam Lintas Budaya di Riau. Pekanbaru: Bilik Kreatif Press.
Kridalaksana, Harimurti. 2009. Kamus Linguistik. Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Majalah Aklamasi. Edisi 3 Januari 2013. Pekanbaru: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) aklamasi Universitas Islam Riau.
Parera, J.D. 2004. Teori Semantik 2. Jakarta: Erlangga.
Sunarso, Siswanto. 2004. Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar